Pernikahan
menurut syariat Islam adalah suatu akad (ikatan janji) yang menjadi sebab halalnya
atau legalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan, dengan
syarat-syarat tertentu, yaitu dengan menggunakan
kata inkah (أَنْكَحْتُكَ) atau tazwij
(زَوّجْتُكَ), atau terjemahannya dalam bahasa sehari-hari.
Akad
Nikah hakikatnya merupakan janji agung di hadapan Tuhan Yang Maha Agung, yang
harus dipertanggungjawabkan. Dalam Al-Quran S. An-Nisa‘: 21, Allah menjelaskan
bahwa ikatan perkawinan antara suami–istri sebagai غَلِيظًا مِيثَاقًا
(perjanjian yang kuat).
Pernikahan
merupakan bagian dari ibadah kepada Allah,
karena Allah dan Rasul-Nya telah mensyariatkannya. Rasulullah B telah bersabda, sesuai dengan hadits dari Abdullah bin Masud
:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
“Wahai para Pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu
menikah, menikahlah. Karena sesungguhnya dengan menikah dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Barangsiapa yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng baginya.” (Muttafaq
alaih)
Jadi perintah menikah ini, sekaligus perintah untuk selalu menjaga
pandangan dan menjaga kemaluan, artinya
jangan sekali-kali melakukan perzinahan.
Sebelum peristiwa akad nikah, maka tidak
boleh lelaki dan perempuan berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram
(berkhalwat). Rasulullah B bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan
seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (Muttafaq alaih)
Karenanya
si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, misalnya saudara
laki-laki atau ayahnya. Bahkan setelah
pinanganpun, bukan berarti lelaki bebas
berduaan dan berhubungan dengan perempuan.
Sekali lagi sebelum terjadi akad nikah, hal tersebut hukumnya haram.
Syarat Nikah
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu pernikahan, yaitu :
1.
Wali, syaratnya adalah : (a) Laki-laki muslim (b) Akil baligh dan normal, jadi anak kecil
dan orang gila tidak boleh jadi saksi dan wali (c) Adil yaitu orang yang tidak melakukan dosa
besar.
2.
Saksi,
syarat sama dengan syarat Wali, ada syarat tambahan yaitu harus normal
pendengaran dan penglihatan.
3.
Calon
istri, adalah orang yang tidak
diharamkan menikah dengan calon suami.
4.
Ijab
Kabul, yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon mempelai wanita dan jawaban
dari calon mempelai pria. Seperti ucapan wali Aku nikahkan putriku denganmu (زوّجتك، أو أنكحتك ابنتي).
Dan
jawaban calon suami, seperti: saya terima nikahnya (قبلت نكاحها و تزويجها).
Rukun Nikah
Rukun
adalah perkara yang harus terpenuhi saat akad nikah berlangsung. Ada 5 (lima) rukun nikah yang harus dipenuhi,
yaitu:
1. Pengantin lelaki (الزوج)
2. Pengantin perempuan (الزوجة)
3. Wali pengantin perempuan
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan Kabul
Pernikahan Yang Dilarang Dalam Islam
1. Perempuan menikah dengan orang
laki-laki nonmuslim
2. Laki-laki menikah dengan
nonmuslim yang bukan ahli kitab (Yahudi, Nasrani).
3. Menikah dengan pelacur, wanita
hamil
4. Pernikahan dalam masa idah cerai
atau kematian
5. Poliandri (perempuan menikah
dengan lebih dari satu laki-laki)
6. Poligami lebih dari empat
6. Laki-laki menikah dengan dua perempuan bersaudara (boleh
menikah dengan salah satunya).
Wali Nikah
Dalam
Islam, calon pengantin perempuan harus dinikahkan oleh walinya. Tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri. Nabi B bersabda :
لا نِكَاح إِلا بوَلِي وشَاهِدي عَدلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali (pihak wanita) dan dua
saksi yang adil (amanah).” (HR.
Turmudzi dan lainnya)
Wali
nikah yang utama adalah ayah kandung, kalau ayah kandung tidak ada maka diganti
kakek, kemudian saudara kandung, dan seterusnya sesuai urutan sebagai berikut :
1 - Ayah kandung
2 - Kakek, atau ayah dari ayah
3 - Saudara se-ayah dan se-ibu
4 - Saudara se-ayah saja
5 - Anak laki-laki dari saudara yang
se-ayah dan se-ibu
6 - Anak laki-laki dari saudara yang
se-ayah saja
7 - Saudara laki-laki ayah
8 -
Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Urutan
wali di atas adalah suatu keharusan. Apabila
wali nomor urut 1 masih ada dan memenuhi syarat, maka tidak sah pernikahan yang
dilakukan oleh wali nomor urut 2, dan seterusnya.
Wali
yang paling berhak juga boleh mewakilkan perwaliannya pada orang lain yang
dipercaya, seperti tokoh agama atau petugas KUA.
Apabila
perempuan berada di suatu negara yang tidak ada wali hakim, maka sebagai
gantinya adalah tokoh Islam setempat, seperti Imam masjid atau ulama yang
dikenal.
Wali hakim dalam konteks Indonesia adalah pejabat yang
berwenang menikahkan, yaitu hakim agama, petugas KUA, naib, modin desa urusan
nikah. (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952)
Wali
hakim baru boleh menjadi wali nikah dalam 3 hal sebagai berikut:
1.
Wali
dari anak zina, karena seorang anak zina perempuan nasabnya dinisbatkan pada
ibunya. Seorang Ibu tidak dapat menikahkan putrinya, maka wali hakim yang dapat
menjadi walinya.
2.
apabila
semua wali nikah tidak ada.
3.
Wali
hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah yang ada menolak menikahkan dengan alasan yang tidak sesuai syariah.
Khutbah Nikah
Menyampaikan
khutbah nikah sebelum ijab Kabul nikah adalah sunnah. Jadi bukan syarat sahnya
pernikahan. Boleh ditinggalkan, tetapi lebih utama dilakukan, karena sesuai
sunnah Nabi B. Apabila Wali mampu
menyampaikan khutbah nikah, maka Wali
lebih utama menyampaikan khutbah nikah, hal ini sesuai sunnah Nabi B
yang menyampaikan khutbah nikah ketika menikahkan Ali dengan putri beliau yaitu
Fatimah.
Khutbah
nikah atau khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah B
adalah :
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا,
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ b وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ,
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Sebelum akad nikah, tidak ada anjuran untuk membaca syahadat,
atau anjuran untuk istighfar, atau membaca surat Al-Fatihah. Semua itu
sudah terwakili dengan lafadz khutbatul hajah di atas. Jadi tidak perlu calon
pengantin diminta bersyahadat atau istighfar.
Ijab Kabul
Prosesi
akad nikah terpenting adalah Ijab Kabul (qobul). Di mana wali calon mempelai
perempuan menikahkan putrinya dengan calon pengantin laki-laki (ijab) dan calon
pengantin laki-laki menjawabnya (kabul/ qobul) sebagai tanda menerima
pernikahan tersebut . Wali juga dapat mewakilkan pada wakil wali yang ditunjuk
wali untuk menikahkan putrinya. Yang bertindak sebagai wakil biasanya petugas
KUA atau tokoh agama setempat.
Ketika
proses akad nikah, calon pengantin putri tidak ikut dalam proses tersebut. Kesalahan yang banyak terjadi di masyarakat ketika
proses akad nikah adalah memposisikan calon pengantin putri berdampingan dengan
calon pengantin putra, apalagi keduanya diselimuti dengan satu kerudung di
atasnya.
Dalam
akad nikah tidak ada anjuran untuk melafadzkan ijab kabul dalam sekali napas,
sebagaimana anggapan sebagian orang. Karena inti dari ijab kabul akad nikah
adalah pernyataan masing-masing pihak, bahwa wali pengantin wanita telah menikahkan
putrinya dengannya, dan pernyataan kesediaan dari pengantin laki-laki. Mengharuskan akad nikah dan ijab kabul dengan
harus satu napas merupakan hal yang terlalu berlebihan. Yang penting dalam Ijab Kabul adalah
dilakukan masih dalam majelis yang sama, dan belum diselingi dengan hal-hal
lain.
Ada
perbedaan pendapat tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yaitu :
·
Akad nikah sah dengan bahasa apapun,
meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa
non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa
selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.
·
Akad nikah tidak sah dengan selain
bahasa Arab, meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian
ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya
sebagaimana takbir ketika shalat yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.
·
Akad nikah sah menggunakan
selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika
pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah
pendapat ketiga dalam madzhab syafii.
Maka saya (penulis)
lebih menyukai lafadz Ijab Kabul dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Arab
dan bahasa sehari-hari, yaitu :
IJAB
:
يَا (nama pengantin putra), أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ إِبْنَتِي (nama pengantin putri)
Aku
nikahkan dan aku jodohkan engkau dengan anak kandungku (nama pengantin putri),
dengan mahar uang sebesar Rp………. dan seperangkat alat sholat dibayar tunai
KABUL
:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْـجَهَا
Saya
terima nikahnya dengan (nama pengantin putri) anak kandung Bapak dengan mahar
sebagaimana disebutkan tadi dibayar tunai.
Doa Setelah Ijab Kabul
Setelah
ijab kabul dilaksanakan antara wali atau wakil wali dengan mempelai laki-laki,
acara dilanjutkan dengan membaca doa,
yaitu orang-orang yang hadir mendoakan kedua mempelai, sesuai dengan hadits Abu Hurairah, dia
berkata:
أَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم
كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ
وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi B apabila mendoakan seseorang yang
menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga
Allah memberkahimu, dan semoga keberkahan atas kamu selamanya, serta menyatukan kamu sekalian dalam kebaikan‘.” (HR Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dan bagi Pengantin,
setelah akad nikah disunnahkan membaca doa :
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا، وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ
مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَاجَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kabaikannya (istriku), dan kebaikan dari apa yang telah Engkau
ciptakan dalam wataknya. Dan aku
memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya (istriku) dan keburukan dari
apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya.” (HR Abu
Daud).
Walimah
Melangsungkan
walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar Ulama, namun ada yang berpendapat
wajib, karena adanya perintah Rasulullah B kepada
Abdurrahman bin Auf, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih
seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Walimah
bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa
pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun yang
utama adalah tidak melewati hari ketiga.
Hendaklah
yang diundang dalam acara walimah tersebut mengutamakan orang-orang yang
shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang
dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka
makanan walimah tersebut dapat dikategorikan sebagai sejelek-jelek makanan.
Rasulullah B bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ
الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang
diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang
miskin tidak diundang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
pengantin hendaknya menghindari bermesraan setelah akad nikah di tempat umum. Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu,
yakni bermesraan setelah akad nikah di depan banyak orang, adalah tidak patut. Memang
keduanya telah sah sebagai suami istri. Dan
hal-hal yang sebelumnya diharamkan kini menjadi halal. Akan tetapi, untuk
melampiaskan kemesraan tentu ada tempatnya, dan bukan di tempat umum.
Baca juga : . . . . . Khutbah Nikah
Baca juga : . . . . . Khutbah Nikah
No comments:
Post a Comment