IBADAH HAJI
Rukun
Haji
a. Ihram
b. Wuquf di Arafah
c. Thowaf Ifadhoh
d. Sa’i
e. Tahallul
f. Tertib
Wajib
Haji
a.
Niat ihrom dari Miqot
b.
Mabit di Mudzdalifah
c.
Melontar Jumrah Aqabah
d.
Mabit di Mina
e.
Melontar 3 Jumrah
f.
Thowaf Wada’
Tanggal
8 Dzul-Hijjah (Hari Tarwiyah)
a.
Apabila
telah tiba Hari Tarwiyah, saatnya ihram
untuk haji dari Makah bagi yang menjalankan Haji Tamattu’, dengan mengucapkan (niat) :
لَبَّيْكَ
حَجًّا- Labbaika Hajjan
(Aku telah penuhi panggilan-Mu untuk Haji).
b.
Bagi
yang menjalankan Haji Ifrad atau Haji Qiran,
ihramnya pada saat dia datang ke Makah,
dan sudah niat untuk haji pada saat tersebut.
c.
Tanggal
8 Dzul-Hijjah ini pergi menuju Mina,
menjalankan sholat Dzuhur dan sholat fardhu lainnya di Mina, dengan meng-qashar sholat-sholat yang empat
rokaat pada waktunya, tanpa di-jama’.
d.
Di
Mina hingga shubuh Hari Arafah.
Tanggal
9 Dzul-Hijjah (Hari Arafah)
a.
Apabila
telah terbit matahari pada Hari Arafah,
pergi ke Namirah (di Arafah)
sambil membaca Talbiyah dan Takbir.
b.
Apabila
telah tergelincir matahari (masuk waktu Dzuhur), sholat jama’ Dzuhur dan Ashar dan
di-qashar, didahului dengan khutbah
Arafah.
c.
Kemudian
datang ke tempat wuquf di Arafah, bila
memungkinkan berdiri di atas batu dan perbanyak doa hingga terbenam matahari.
d.
Perbanyak
doa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi, yaitu :
لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ,
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Laa ilaaha
illalloohu wahdahuu laa syariika lah,
lahul-mulku wa lahul-hamdu wa Huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir
“Tidak ada tuhan kecuali
Allah saja, tidak ada sekutu
bagi-Nya, kepunyaan-Nya seluruh
kerajaan, dan untuk-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR Tirmidzi).
Tanggal
10 Dzul-Hijjah (Hari Nahar)
a.
Setelah
terbenam matahari pada Hari Arafah,
yaitu sudah masuk tanggal 10 Dzul-Hijjah, meninggalkan Arafah menuju Mudzdalifah (Masy’aril Haram).
b.
Sholat
Maghrib dan Isya’ dengan jama’ ta’khir (dengan sekali adzan dan dua iqomat,
tanpa sholat sunnah di antara keduanya) di Muzdalifah, serta bermalam di Muzdalifah hingga shubuh.
c.
Berdoalah/ berdzikirlah
kepada Allah dengan menghadap kiblat, bertakbir
dan bertahlil.
d.
Bagi
orang yang lemah, boleh meninggalkan
Muzdalifah menuju Mina sebelum fajar (shubuh).
e. Setelah
sholat shubuh di Mudzdalifah pergi menuju Mina.
f.
Pergilah
sebelum matahari terbit hingga tiba di Muhassir, mengumpulkan batu pelontar jumrah Aqabah
(sebesar batu kerikil untuk ketepil, atau sebesar biji kacang tanah), dan mempercepat langkah hingga di Mina.
g.
Apabila
sampai di Mina (jumrah Aqabah), melontar
jumrah Aqabah dengan tujuh butir batu kerikil,
dengan posisi arah Ka’bah di sebelah kiri, dan Mina sebelah kanan badan, dan mengucapkan setiap kali melontar dengan
bacaan :
اَللهُ
أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا
مَبْرُوْرٌا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا
Alloohu
akbar, alloohummaj’alhu hajjan
mabruuroo, wa dzanban maghfuuroo.
“Allah Maha Besar, ya Allah jadikanlah ini haji yang diterima, dan disertai pengampunan dosa”. (Muttafaq alaih).
Melontar
jumrah aqabah ini harus setelah matahari terbit, sebagaimana hadits dari Ibnu Abas, Rasulullah bersabda:
لَا تَرْمُوا الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ
“Janganlah kalian melontar jumrah hingga
matahari terbit.” (HR lima Imam selain Nasai).
h.
Selanjutnya
saatnya menyembelih binatang hadyu (dam) dan tahallul (tahallul awal) dengan mencukur atau memotong rambut
kepala, mulai sebelah kanan, dilanjutkan sebelah kiri.
Mencukur
lebih utama daripada memotong,
sebagaimana hadits dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah B mendoakan:
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا: وَلِلْمُقَصِّرِينَ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا: وَلِلْمُقَصِّرِينَ قَالَهَا ثَلاَثًا قَالَ:
وَلِلْمُقَصِّرِينَ
“Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur
rambutnya”. Para sahabat berkata: “Dan
orang-orang yang memotong?”. Rasulullah berdoa lagi: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur
rambutnya”. Para sahabat berkata lagi:
“Dan orang-orang yang memotong?”.
Setelah diucapkan yang ketiga kali,
barulah Rasulullah
berdoa: “Ya
Allah, ampunilah orang-orang yang
memotong rambutnya.” (Muttafaq alaih).
i.
Dengan
Tahallul Awal ini, maka halal segala
larangan bagi orang yang ber-ihram, yaitu
mengenakan pakaian biasa dan wangi-wangian,
kecuali berkumpul suami-istri masih terlarang hingga Tahallul Tsani.
j.
Kemudian
jika memungkinkan, pada hari itu juga pergi ke Makah untuk Thowaf Ifadhah.
k.
Dilanjutkan
dengan sa’i (jika belum sa’i setelah
thowaf qudum dalam Haji Qiran).
l.
Setelah
melakukan tiga perbuatan, yaitu : melontar jumroh Aqabah, memotong/ mencukur rambut kepala, dan Thowaf Ifadhoh, berarti telah melakukan Tahallul Tsani, maka sudah diperbolehkan melakukan hubungan
suami-istri.
m.
Setelah
thowaf Ifadhah dan Sa’i, kembali ke Mina
sebelum matahari terbenam untuk mabit di Mina selama dua atau tiga malam
pada hari-hari Tasyrik.
Tanggal
11-13 Dzul-Hijjah (Hari-hari Tasyrik)
a.
Bermalam
(mabit) di Mina hingga 12 Dzul-Hijjah (Nafar
Awal) atau 13 Dzul-Hijjah (Nafar Tsani).
Bagi
yang menghendaki nafar awal, harus
meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari pada tanggal 12 Dzul-Hijjah.
b.
Melontar
tiga jumrah (Ula, Wustha
dan Aqabah) setelah tergelincir
matahari pada tanggal 11 hingga 12 atau 13 Dzul-Hijjah, masing-masing
tujuh butir batu kerikil. Hadits
dari Jabir mengatakan:
رَمَى رَسُولُ اللَّهِ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى,
وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَإِذَا زَادَتْ الشَّمْسُ
“Rasulullah melontar jumrah pada hari Nahar
(jumrah Aqabah) pada waktu Dhuha. Adapun jumrah berikutnya (tiga jumrah)
apabila matahari telah tergelincir.” (HR Muslim).
c. Disunnahkan berhenti lama di jumrah Ula
dan jumrah Wustha sambil berdoa. Adapun
saat melontar jumrah Aqabah tanpa berhenti untuk berdoa.
Dari Mina Kembali Ke Makah
a.
Apabila
pada tanggal 10 Dzul-Hijjah belum sempat ke Makah untuk Thowaf ifadhoh dan sa’i, kini saatnya melakukan Thowaf Ifadhah dan
Sa’i.
b.
Bagi
yang menjalankan Haji Ifrad, masih ada
kewajiban Umrah, dengan melakukan ihram
dari Tan’im atau Ji’ronah, dengan
mengucapkan :
لَبَّيْكَ عُمْرَةً -
Labbaika Umratan (Aku telah penuhi panggilan-Mu untuk Umrah).
c.
Sebelum
meninggalkan kota Makah, baik untuk
kembali ke Tanah Air maupun ke Madinah, harus
melakukan Thowaf Wada’, kecuali bagi
wanita yang haid. Rasulullah bersabda :
أُمِرَ
النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ أَخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ
عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Manusia
diperintahkan agar mengakhiri ibadahnya di Baitullah (Thowaf Wada’), hanya saja dikecualikan bagi wanita yang haid.”
(Muttafaq
alaih).
PERMASALAHAN SEPUTAR IBADAH
HAJI & UMRAH
1.
Janganlah memulai
Thawaf sebelum Hajar Aswad, sedangkan
syariatnya adalah dimulai dari Hajar Aswad atau garis lurus dari Hajar Aswad.
2.
Dalam rangka
pelaksanaan thawaf, di mana disyariatkan
mengusap dan mengecup Hajar Aswad,
tetapi apabila justru mendatangkan mudharat, misalnya harus berdesak-desakan dan menyakiti
orang lain, lebih baik dihindari, terutama bagi wanita.
3.
Boleh saja Shalat
sunah di Hijir Ismail apabila memungkinkan,
asal tidak dikhususkan shalat di Hijir Ismail.
4.
Setelah thawaf, jangan memaksakan diri shalat sunnah dua rakaat
tepat di belakang Maqam Ibrahim, ketika
sedang padat dengan orang-orang yang thawaf,
sehingga justru mengganggu orang-orang yang thawaf. Padahal shalat sunnah dua rakaat dapat saja
dilakukan di belakang Maqam Ibrahim agak jauh ke belakang.
5.
Doa-doa saat thawaf, dengan ditentukan untuk putaran pertama, putaran kedua, dan seterusnya, adalah bukan dari Nabi, sehingga tidak perlu diamalkan.
6.
Memegang dan
mengusap-usap bangunan Ka’bah, kemudian
mengusapkan tangannya ke seluruh badan atau kepada anak-anaknya dengan anggapan memberi manfaat atau mendapat
berkah, adalah merupakan perbuatan sesat
yang harus dihindari.
7.
Thawaf atau Sa‘i
berombongan dengan dipimpin oleh seorang komando, yang memimpin doa dengan suara keras, dan diikuti oleh mereka dengan suara keras
pula, sehingga suara-suara keras
bermunculan dan terjadi suara ribut,
yang demikian itu selain tidak ada tuntunannya juga sangat mengganggu
kekhusu’an orang lain yang sedang thawaf atau sa’i atau shalat. Karenanya hendaknya dihindari.
8.
Memperbanyak
umrah pada saat berada di Makah, adalah
tidak disyariatkan dalam Islam. Oleh
karenanya tidak perlu dilakukan. Yang
disyariatkan adalah memperbanyak thawaf sunnah.
9. Mengusap-usap
dinding dan pagar makam Nabi dengan harapan mendapat berkah adalah perbuatan
yang sesat, yang harus dihindari.
10. Dalam rangka
kehati-hatian, pembayaran Dam dan Qurban
hendaknya dilakukan melalui Bank Rajhi,
tidak melalui calo-calo dam,
meskipun harganya lebih murah dan ada iming-iming hadiah berupa ziarah
dan lainnya.
11. Pastikan bahwa
pada saat wuquf, sudah benar-benar
berada di daerah Arafah, karena ada
sebagian jamaah haji yang wuquf di luar batas Arafah hingga terbenam matahari, dan langsung menuju Muzdalifah. Yang demikian, hajinya tidak sah.
12. Berdesak-desakan
untuk dapat naik ke bukit Arafah hanyalah mendatangkan mudarat dan menyakiti
orang lain, padahal seluruh tanah Arafah
hakikatnya adalah tempat wuquf.
13. Jangan berdoa di
Arafah sambil menghadap jabal Arafah,
seharusnya berdoa di Arafah dengan menghadap Kiblat sebagaimana tuntunan
Rasulullah.
14. Saat melontar
jumrah, sebaiknya tidak mendekati jumrah
dengan paksa dan kekerasan, tanpa rasa
khusu’ kepada Allah, dan tanpa adanya
rasa kasih sayang kepada sesama, yang
dapat mengakibatkan saling caci dan saling pukul.
15. Banyak jamaah
haji yang tidak berhenti dan berdoa setelah melontar jumrah Ula dan
Wustha, padahal sesuai sunnah Nabi setelah
melontar jumrah Ula dan Wustha, berhenti
lama untuk berdoa sambil menghadap Kiblat.
16. Banyak jamaah
haji yang berhenti lama dan berdoa setelah melontar jumrah Aqabah, padahal sesuai sunnah Nabi berhenti lama dan
berdoa adalah hanya setelah melontar jumrah Ula dan Wustha, tetapi tidak di
jumrah Aqabah.
17. Mewakilkan amalan
haji kepada orang lain, misalnya mewakilkan
melontar jumrah, dan lain-lain, tidak mempunyai landasan yang shohih, oleh karenanya agar dihindari.
No comments:
Post a Comment